Selasa, 10 November 2009

Tak seindah biasa

kau beri sapa pada langit
bahwa mentarimu tak seindah biasa
kawan, kau bercerita tentang masa lalu sambil tertunduk lesu
saat itu, belasan tahun yang lalu
kita bercengkrama dengan terpias hujan sore
kaki kecil kita berlari menyusuri gang-gang sempit
bermain air parit yang menguap setinggi mata kaki
kita tertawa bersama
tanpa risau
tanpa hirau

kini kau dan aku berdiri, kawan
di depan taman yang dulu tempat kita menangkap kupu-kupu
tapi kini taman itu tak lagi semenarik dulu
karena ulat tak sempat bermetamorfosa menjadi kupu-kupu
kalah oleh kokohnya beton rumah biru

kawan, kita harus bicara
walau lewat raut yang menyirat
tanpa kata
tanpa suara

saat asa kita bertemu
ku untai satu kata merdu
"karena kelak kita adalah seorang ibu"
yang menginginkan yg terbaik buat putra putri generasi rabbani
bukan udara yg penuh debu
atau virus jenis baru yg mengancam permata hatimu

ah, kawan. bumi sudah renta
paru-paru bumi keropos perlahan terbabat oleh keegoisan
mentari semakin tak berseri
angin dingin
rembulan tak seindah dulu, kecut karena tertutup kabut asap

satu tanya kembali menggelitik
mengapa terhadap barang antik mereka tertarik?
tapi...
orang-orang tua?
bumi yg kian renta?
mereka tak jua bergerak merawatnya

kawan, karena kelak kita adalah seorang ibu
yang menginginkan yg terbaik buat putra putri generasi rabbani
bukan udara yg penuh debu
atau virus jenis baru yg mengancam permata hatimu

mari kita berbenah, kawan
biarkan anak kita ikut merasakan
indahnya masa kecil yg pernah kita lewati di gang-gang sempit dan taman kenangan
yg riang bercengkrama dengan hujan
asyiknya mengejar kupu-kupu yg terbang malu-malu
bukan hanya dari cerita nostalgia kita...